Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kapasitas Kolektif Menentukan Kecerdasan Politik

Minggu, 07 April 2019 | April 07, 2019 WIB Last Updated 2019-04-07T08:02:05Z



Menjelang pelaksanaan pemilu yang tinggal menunggu hari, nyaris tidak ada ruang publik yang absen dari perbincangan dan visualisasi elektoralis, baik di desa, di kota, jejaring sosial, media massa bahkan tempat ibadah pun tak luput dari itu, dengan berlindung dari balik bantuan dan infaq. Dimana situasi aktual menunjukan kepada kita sedemikan tingginya kemauan politik rakyat namun tidak bergerak simultan dengan pendidikan politik yang seharusnya diberikan para elit politik kepada rakyat agar politik elektoral tidak menodai demokrasi.

Riuhnya perbincangan dan pemandangan politik di ranah publik tidak serta merta mengisyaratkan kepada kita bahwa disana terdapat kecerdasan politik rakyat. Mengapa demikian? Mari kita lihat di dua ruang berbeda yang telah terdikotomi.

Pertama, hiruk pikuk politik yang mengejawantah pada bentuk perdebatan dan polemik, berada pada kalangan para pendukung calon baik Presiden/wakil presiden maupun legislatif. Yang menyesaki ruang ini ialah individu yang mensubordinasi diri pada blok/sekte  politik tertentu. Benarkah demikian? Mari kita uji.
Diskursus politik yang mengemuka (mainstream) sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan dan pemenuhan tuntutan basis komunitas atau kelas sosial. Kalau pun terdapat wacana mengenai tenaga kerja, redistribusi tanah, wilayah tangkapan ikan dan isu kelas sosial lainnya tidak pernah sepi diperdebatkan, tetapi hal itu tidak lebih dari upaya elit politik dalam mengekploitasi isu sosial. Sementara blok politik manapun tidak ada yang secara konkrit  mengusung kebijakan seperti kenaikan upah buruh 100%, tanah untuk penggarap/buruh tani, dokter keluarga (baca: primary healt care) dsl.

Kedua, Gelanggang kontestasi politik. Pada ruang ini seharusnya berkemampuan mencerminkan ruang di atas. Jargon besar yang menjadi senjata kedua belah kubu politik seperti Indonesia Hebat dan Make Indonesia Great Again, apabila dicermati pada konteks ilustrasi struktural narasi politik, sudah seharusnya di dalamnya mencakup prasarat---pemenuhan kepentingan kelas sosial yang saya sebut di atas---bonum commune sebagai telos namun sama sekali tidak pernah disinggung. Narasi-narasi besar itu telah menyentuh telinga kita seakan hendak membangkitkan harapan rakyat yang entah sudah berapa windu bersemayam di alam barjah namun sayangnya ditempuh dengan ritual menabur bunga kebencian sesama anak bangsa. Selebihnya dapat dipastikan, kedigdayaan uang yang hendak membungkam akal sehat rakyat dipenghujung pertarungan. Sungguh mengerikan.

Di luar kedua ruang di atas, terdapat kenyataan lain. Kelindanannya tetap pada derajat kesadaran politik. Kenyataan yang ada pada ruang ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai kecerdasan politik rayat. Ada sebuah ungkapan naratif sebagai contoh umum, “Siapapun yang bakal keluar sebagai pemenang pada kontestasi politik elektoral, maka sang juara itu akan mendaur ulang kekuasaan borjuis-oligarki, dan, kehidupan rakyat tidak akan berubah oleh persembahan prestasi sang juara, kecuali apabila rakyatnya sendiri yang mau merubahnya. Karenanya manfaatkan, ambil uangnya” demikianlah kira-kira maksud dari narasi politik rakyat––tentunya dengan ekspresi/ungkapan yang berbeda-beda––yang oleh sebagian kalangan dianggap cerdas politik. Kenyataan inilah yang kemudian direspon oleh para caleg dan tim sukses dengan cara meminimalisir sogokan politik baik berupa uang, sembako serta bantuan untuk sarana ibadah dan sosial.

Memang, tidak sepenuhnya salah jika kenyataan itu dinilai sebagai kecerdasan politik rakyat. Hanya saja barangkali kalimat yang lebih relevan untuk dipadankan terhadap kenyataan ini, melenyapnya kepercayaan rakyat terhadap kaum elit tetapi pada saat yang sama rakyat juga kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sebagai virtue anasir perubahan.

Dari paparan di atas, setidaknya kita warga Perumahan Grand Permata yang beragam latar belakang suku, bahasa, budaya dan agama memiliki kapasitas kolektif untuk secara sadar menyambut pemilu dengan suka cita dengan menggunakan hak suara tanpa menggadaikan hah pilih kita. Membentengi kebersamaan dari ancaman politik disintegrasi dengan meletakkan pemilu di atas fundamentalitas hakikat manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Karena yang demikian itu adalah manifestasi dari kecerdasan politik rakyat.

Ditulis Oleh : Engkos Kosasih (Ketua RW.019 Perumahan Grand Permata)

×
Berita Terbaru Update