Menjelang pelaksanaan
pemilu yang tinggal menunggu hari, nyaris tidak ada ruang publik yang absen
dari perbincangan dan visualisasi elektoralis, baik di desa, di kota, jejaring sosial,
media massa bahkan tempat ibadah pun tak luput dari itu, dengan berlindung dari
balik bantuan dan infaq. Dimana situasi aktual menunjukan kepada kita sedemikan
tingginya kemauan politik rakyat namun tidak bergerak simultan dengan
pendidikan politik yang seharusnya diberikan para elit politik kepada rakyat
agar politik elektoral tidak menodai demokrasi.
Riuhnya perbincangan
dan pemandangan politik di ranah publik tidak serta merta mengisyaratkan kepada
kita bahwa disana terdapat kecerdasan politik rakyat. Mengapa demikian? Mari kita
lihat di dua ruang berbeda yang telah terdikotomi.
Pertama,
hiruk pikuk politik yang mengejawantah pada bentuk perdebatan dan polemik, berada
pada kalangan para pendukung calon baik Presiden/wakil presiden maupun legislatif. Yang menyesaki ruang ini ialah
individu yang mensubordinasi diri pada blok/sekte politik tertentu. Benarkah demikian? Mari kita
uji.
Diskursus politik yang
mengemuka (mainstream) sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan dan
pemenuhan tuntutan basis komunitas atau kelas sosial. Kalau pun terdapat wacana
mengenai tenaga kerja, redistribusi tanah, wilayah tangkapan ikan dan isu kelas
sosial lainnya tidak pernah sepi diperdebatkan, tetapi hal itu tidak lebih dari
upaya elit politik dalam mengekploitasi isu sosial. Sementara blok politik
manapun tidak ada yang secara konkrit mengusung
kebijakan seperti kenaikan upah buruh 100%, tanah untuk penggarap/buruh tani,
dokter keluarga (baca: primary healt care) dsl.
Kedua,
Gelanggang
kontestasi politik. Pada ruang ini seharusnya berkemampuan mencerminkan
ruang di atas. Jargon besar yang menjadi senjata kedua belah kubu politik
seperti Indonesia Hebat dan Make Indonesia Great Again, apabila dicermati pada
konteks ilustrasi struktural narasi politik, sudah seharusnya di dalamnya mencakup
prasarat---pemenuhan kepentingan kelas sosial yang saya sebut di atas---bonum
commune sebagai telos namun sama sekali tidak pernah disinggung. Narasi-narasi besar
itu telah menyentuh telinga kita seakan hendak membangkitkan harapan rakyat yang
entah sudah berapa windu bersemayam di alam barjah namun sayangnya ditempuh
dengan ritual menabur bunga kebencian sesama anak bangsa. Selebihnya dapat
dipastikan, kedigdayaan uang yang hendak membungkam akal sehat rakyat dipenghujung
pertarungan. Sungguh mengerikan.
Di luar kedua ruang di
atas, terdapat kenyataan lain. Kelindanannya tetap pada derajat kesadaran
politik. Kenyataan yang ada pada ruang ini oleh sebagian kalangan dinilai
sebagai kecerdasan politik rayat. Ada sebuah ungkapan naratif sebagai contoh
umum, “Siapapun yang bakal keluar sebagai
pemenang pada kontestasi politik elektoral, maka sang juara itu akan mendaur
ulang kekuasaan borjuis-oligarki, dan, kehidupan rakyat tidak akan berubah oleh
persembahan prestasi sang juara, kecuali apabila rakyatnya sendiri yang mau merubahnya.
Karenanya manfaatkan, ambil uangnya”
demikianlah kira-kira maksud dari narasi politik rakyat––tentunya dengan ekspresi/ungkapan
yang berbeda-beda––yang oleh sebagian kalangan dianggap cerdas politik. Kenyataan inilah yang kemudian direspon oleh para
caleg dan tim sukses dengan cara meminimalisir sogokan politik baik berupa
uang, sembako serta bantuan untuk sarana ibadah dan sosial.
Memang, tidak sepenuhnya
salah jika kenyataan itu dinilai sebagai kecerdasan politik rakyat. Hanya saja
barangkali kalimat yang lebih relevan untuk dipadankan terhadap kenyataan ini, melenyapnya kepercayaan rakyat terhadap kaum
elit tetapi pada saat yang sama rakyat juga kehilangan kepercayaan terhadap
dirinya sebagai virtue anasir perubahan.
Dari paparan di atas, setidaknya kita warga Perumahan Grand Permata yang beragam latar belakang suku,
bahasa, budaya dan agama memiliki kapasitas kolektif untuk secara sadar menyambut pemilu dengan suka cita
dengan menggunakan hak suara tanpa menggadaikan hah pilih kita. Membentengi kebersamaan
dari ancaman politik disintegrasi dengan meletakkan pemilu di atas
fundamentalitas hakikat manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Karena yang demikian
itu adalah manifestasi dari kecerdasan politik rakyat.
Ditulis Oleh : Engkos Kosasih (Ketua RW.019 Perumahan Grand Permata)