Istilah Mudik sudah tidak
asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Secara etimologi mudik merujuk pada
kata mudik itu sendiri yang berasal dari kata udik yang
berarti kampung. Secara sederhana mudik dapat diartikan pulang kampung.
Dalam konteks prilaku, mudik
dilekatkan kepada mereka kaum urban yang memanfaatkan waktu libur panjang
dengan pulang ke kampung halaman untuk tujuan tertentu. Pada siklus
periodik, arus mudik Nampak begitu signifikan pada saat libur hari raya idul
fitri. Sehingga pada momen yang telah mentradisi ini menarik peran serta para
pemangku kebijakan serta stake holder pada kapasitas masing-masing untuk
kemudahan, kelancaran dan keselamatan para pemudik.
Mudik memiliki makna
elaborative yang diikatkan pada tepi ruang dan waktu. Hal ini dapat ditelusuri
dari tradisi sungkeman pada saat hari raya idul fitri di keraton Mataram pada
abad 18. Para penguasa feudal pada saat itu melangsungkan acara sungkeman
(ma’af-ma’afan) antara tokoh kultural para hulu balang dan keluarga keraton.
Meskipun acara sungkeman yang digagas pihak keraton memiliki makna spiritual
namun secara zahir terselip tujuan moderasi terhadap segala bentuk aksi
kekecewaan rakyat. Dan terlepas dari itu, secara poitik, mataram pada waktu
yang bersamaan menyatakan anti merkantilis VOC (baca: kolonialisme).
Berbeda dengan masa awal
kemerdekaan, Soekarno memanfaatkan momentum sungkeman idul fitri sebagai
strategi politik dalam upaya menyatukan seluruh komponen bangsa. Dengan dibantu
oleh seorang tokoh islam terkemuka yaitu kiyai Abdul Wahab Chasbullah, kemudian
Sukarno mencetuskan istilah Halal Bihalal pada tahun 1948 yang tengah penuh
dengan kemelut.
Ketika itu belum lama
berlangsung konflik horizontal antara kaum komunis dengan terutama kaum
masyumi, buah dari fitnah dan provokasi yang dilakukan oleh Kabinet
Hatta-Sukiman-Natsir. Kebodohan besar Hatta-Sukiman-Natsir adalah mengadu domba umat islam dengan
kaum komunis karena menerima uang sebesar 56 juta US Dolar dari
Amerika Serikat untuk
menjalankan Red
Drive Proposals (doktrin Truman). Keprihatinan atas banyaknya jatuh
korban itulah yang mendorong Sukarno untuk menyelenggarakan sungkeman akbar
pada saat hari raya idul fitri dengan alasan merajut kembali persatuan bangsa
Indonesia yang sempat tercabik-cabik dengan tujuan segenap lapisan masyarakat sadar bahwa peristiwa berdarah
Madiun merupakan projek kejahatan Amerika Serikat melalui agennya di dalam
negeri yaitu Mohammad Hatta sang wakil presiden dan perdana menteri Indonesia.
Pada open house di istana negara, Sukarno berpesan agar seluruh lapisan masyarakat Indonesia
bersatu padu melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di bawah
hegemoni AS demi terbangunnya tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur terbebas dari penindasan kaum penjajah.
Sejak saat itulah acara
sungkeman dalam bingkai Halal Bihalal kemudian menjadi tradisi bangsa Indonesia
yang berlangsung sampai saat ini.
Di jaman yang semakin maju
ini dimana industrialisasi tumbuh terpusat di kota-kota besar khususnya Jakarta
dan kota penyangganya seperti Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor dan Karawang
telah menyebabkan terpusatnya pula penduduk di kota-kota tersebut karena
urbanisasi dari berbagai daerah. Sehingga saat datang waktu mudik lebaran,
terdapat perjalan panjang dari Jakarta dan kota-kota sekitarnya ke Jawa Tengah,
Jawa Timur dan berbagai pulau di Indonesia.
Setiap tahun saat datang
bulan Ramadhan dan dipungkas dengan Idul Fitri bagi sebagian besar umat islam
diperantauan akan pulang kampung selama waktu libur yang sudah ditetapkan
perusahaannya masing-masing untuk merayakan hari raya idul fitri bersama
keluarga tercinta di kampung halaman yang tentunya akan diisi dengan kegiatan utama sungkeman, ziarah kubur dsb.
Pulang kampung atau mudik
dewasa ini mengandung makna yang elaborative (luas). Mudik bukan semata-mata kegiatan menikmati seni perjalanan. Jika pun mudik merupakan suatu perjalanan maka mudik
merupakan perjalanan suci kaum urban muslim karena demikian disertai dua tujuan
mengetatkan relasi kualitatif.
Pertama, ketika kaum muslim
menunaikan ibadah puasa, kerangka acuan berpikir mereka tentunya bertolak dari
titik transenden (hablumminallah) dalam istilah taqwa sebagaimana dijelaskan
surat Al Baqarah : 183 meskipun universalitas taqwa itu sendiri secara spesifik
makna puasa dapat digali dengan kemampuan berpikir sehingga menemukan manfaat
kesehatan, kepekaan sosial, kesabaran, kejujuran, solidaritas, tidak
menumpuk-numpuk harta dsb.
Kedua, lebaran merupakan master signifier dari
seluruh rangkaian ibadah bulan Ramadhan seperti Puasa, sholat terawih, tadarus
dan zakat fitrah. Dihari lebaran lah kaum muslim Indonesia menumpahkan rasa
cinta kasih kepada sesama manusia (Hablumminannaas) khususnya orang tua dan
keluarga. Wujud cinta kasih itu tidak lain berupa praktik sungkeman atau
berma’af-ma’afan. Dan bagi sebagian mereka yang orang tua atau keluarganya
sudah meninggal maka nyekar/ziarah kubur sebagai wujud cinta kasihnya.
Dari uraian singkat di atas
didapat kesimpulan bahwa mudik lebaran mengandung nilai-nilai spirituil dan
zahir yang sungguh tinggi. Agar Taqwa yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT
dalam makna hablumminallah di satu sisi dan menyatukan rasa kesamaan nasib sesama muslim dihadapan kezaliman oleh manusia terhadap manusia dan oleh negara atas negara
di sisi yang berlainan. Karenanya mudik bukan semata tradisi tahunan melainkan suatu perjalanan
suci. Karena itu pula lah, perjalan mudik ini jangan sampai dinodai ketidakmampuan pemerintah dalam melayani para pemudik yang menyebabkan sebagian dari mereka mengalami kecelakaan lalu lintas bahkan tak sedikit yang menemui azalnya diperjalanan.
Hati-hati di perjalanan dan
semoga selamat sampai tujuan…!
Mudiklah dengan bahagia…!
Ditulis Oleh : Engkos Kosasih (Ketua RW.019 Perumahan Grand Permata)