Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Memaknai "Mudik" Sebagai Sebuah Virtue Perjalanan Suci

Kamis, 30 Mei 2019 | Mei 30, 2019 WIB Last Updated 2019-05-30T22:27:45Z




Istilah Mudik sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Secara etimologi mudik merujuk pada kata mudik itu sendiri yang berasal dari kata udik yang berarti kampung. Secara sederhana mudik dapat diartikan pulang kampung.
Dalam konteks prilaku, mudik dilekatkan kepada mereka kaum urban yang memanfaatkan waktu libur panjang dengan pulang ke kampung halaman untuk tujuan  tertentu. Pada siklus periodik, arus mudik Nampak begitu signifikan pada saat libur hari raya idul fitri. Sehingga pada momen yang telah mentradisi ini menarik peran serta para pemangku kebijakan serta stake holder pada kapasitas masing-masing untuk kemudahan, kelancaran dan keselamatan para pemudik.

Mudik memiliki makna elaborative yang diikatkan pada tepi ruang dan waktu. Hal ini dapat ditelusuri dari tradisi sungkeman pada saat hari raya idul fitri di keraton Mataram pada abad 18. Para penguasa feudal pada saat itu melangsungkan acara sungkeman (ma’af-ma’afan) antara tokoh kultural para hulu balang dan keluarga keraton. Meskipun acara sungkeman yang digagas pihak keraton memiliki makna spiritual namun secara zahir terselip tujuan moderasi terhadap segala bentuk aksi kekecewaan rakyat. Dan terlepas dari itu, secara poitik, mataram pada waktu yang bersamaan menyatakan anti merkantilis VOC (baca: kolonialisme).
Berbeda dengan masa awal kemerdekaan, Soekarno memanfaatkan momentum sungkeman idul fitri sebagai strategi politik dalam upaya menyatukan seluruh komponen bangsa. Dengan dibantu oleh seorang tokoh islam terkemuka yaitu kiyai Abdul Wahab Chasbullah, kemudian Sukarno mencetuskan istilah Halal Bihalal pada tahun 1948 yang tengah penuh dengan kemelut.

Ketika itu belum lama berlangsung konflik horizontal antara kaum komunis dengan terutama kaum masyumi, buah dari fitnah dan provokasi yang dilakukan oleh Kabinet Hatta-Sukiman-Natsir. Kebodohan besar Hatta-Sukiman-Natsir adalah mengadu domba umat islam dengan kaum komunis karena menerima uang sebesar 56 juta US Dolar dari
Amerika Serikat untuk menjalankan Red Drive Proposals (doktrin Truman). Keprihatinan atas banyaknya jatuh korban itulah yang mendorong Sukarno untuk menyelenggarakan sungkeman akbar pada saat hari raya idul fitri dengan alasan merajut kembali persatuan bangsa Indonesia yang sempat tercabik-cabik dengan tujuan segenap lapisan masyarakat sadar bahwa peristiwa berdarah Madiun merupakan projek kejahatan Amerika Serikat melalui agennya di dalam negeri yaitu Mohammad Hatta sang wakil presiden dan perdana menteri Indonesia. Pada open house di istana negara, Sukarno berpesan agar seluruh lapisan masyarakat Indonesia bersatu padu melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di bawah hegemoni AS demi terbangunnya tatanan masyarakat Indonesia yang  adil dan makmur terbebas dari penindasan kaum penjajah.

Sejak saat itulah acara sungkeman dalam bingkai Halal Bihalal kemudian menjadi tradisi bangsa Indonesia yang berlangsung sampai saat ini.

Di jaman yang semakin maju ini dimana industrialisasi tumbuh terpusat di kota-kota besar khususnya Jakarta dan kota penyangganya seperti Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor dan Karawang telah menyebabkan terpusatnya pula penduduk di kota-kota tersebut karena urbanisasi dari berbagai daerah. Sehingga saat datang waktu mudik lebaran, terdapat perjalan panjang dari Jakarta dan kota-kota sekitarnya ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan berbagai pulau di Indonesia.

Setiap tahun saat datang bulan Ramadhan dan dipungkas dengan Idul Fitri bagi sebagian besar umat islam diperantauan akan pulang kampung selama waktu libur yang sudah ditetapkan perusahaannya masing-masing untuk merayakan hari raya idul fitri bersama keluarga tercinta di kampung halaman yang tentunya akan diisi dengan kegiatan utama sungkeman, ziarah kubur dsb.

Pulang kampung atau mudik dewasa ini mengandung makna yang elaborative (luas). Mudik bukan semata-mata kegiatan menikmati seni perjalanan. Jika pun mudik merupakan suatu perjalanan maka mudik merupakan perjalanan suci kaum urban muslim karena demikian disertai dua tujuan mengetatkan relasi kualitatif.
Pertama, ketika kaum muslim menunaikan ibadah puasa, kerangka acuan berpikir mereka tentunya bertolak dari titik transenden (hablumminallah) dalam istilah taqwa sebagaimana dijelaskan surat Al Baqarah : 183 meskipun universalitas taqwa itu sendiri secara spesifik makna puasa dapat digali dengan kemampuan berpikir sehingga menemukan manfaat kesehatan, kepekaan sosial, kesabaran, kejujuran, solidaritas, tidak menumpuk-numpuk harta dsb.
Kedua, lebaran merupakan master signifier dari seluruh rangkaian ibadah bulan Ramadhan seperti Puasa, sholat terawih, tadarus dan zakat fitrah. Dihari lebaran lah kaum muslim Indonesia menumpahkan rasa cinta kasih kepada sesama manusia (Hablumminannaas) khususnya orang tua dan keluarga. Wujud cinta kasih itu tidak lain berupa praktik sungkeman atau berma’af-ma’afan. Dan bagi sebagian mereka yang orang tua atau keluarganya sudah meninggal maka nyekar/ziarah kubur sebagai wujud cinta kasihnya.

Dari uraian singkat di atas didapat kesimpulan bahwa mudik lebaran mengandung nilai-nilai spirituil dan zahir yang sungguh tinggi. Agar Taqwa yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT dalam makna hablumminallah di satu sisi dan menyatukan rasa kesamaan nasib sesama muslim dihadapan kezaliman oleh manusia terhadap manusia dan oleh negara atas negara di sisi yang berlainan. Karenanya mudik bukan semata tradisi tahunan melainkan suatu perjalanan suci. Karena itu pula lah, perjalan mudik ini jangan sampai dinodai ketidakmampuan pemerintah dalam melayani para pemudik yang menyebabkan sebagian dari mereka mengalami kecelakaan lalu lintas bahkan tak sedikit yang menemui azalnya diperjalanan.

Hati-hati di perjalanan dan semoga selamat sampai tujuan…!
Mudiklah dengan bahagia…!


Ditulis Oleh : Engkos Kosasih (Ketua RW.019 Perumahan Grand Permata)

×
Berita Terbaru Update